Diberdayakan oleh Blogger.

Selasa, 02 Juli 2013

Hukum Menerima Uang Pilkada


Kalau kita sudah tahu dari mana sumber uang dibagi-bagikan menjelang pilkada itu, maka kita tahu sumbernya adalah kesepakatan haram jadah yang terjadi antara para kandidat dan masing-masing investornya. Saya mengibaratkan kedudukan uang itu hanya beda tipis dengan status uang dari hasil keuntungan jual daging mentah alias bisnis prostitusi di rumah-rumah bordil. Orang bilang sebelas dua belas. Lalu kita dikasih cipratannya, agar kita ikut mendukung bisnis rumah bordil itu. Jadi hukum menerimanya bagaimana? Mudah saja jawabannya : haram, haram dan haram. Kalau dulu ada yang bilang, sudahlah ambil saja uangnya, tetapi jangan pilih orangnya, maka saya bilang bahwa mengambil uangnya saja sudah haram, apalagi pilih orangnya. Kok mengambil uangnya haram? Ya, jelas haram, karena uang itu sebenarnya tidak lain merupakan salah satu dari teknik gratifikasi modern. Kalau dalam gratifikasi konvensional, penguasaha atau investor kasih uang sogokan kepada pejabat yang sudah aktif, maka dalam gratifikasi modern, para investor memberi uang kepada calon pejabat yang nantinya akan menjabat. Sehingga si pejabat itu belum apa-apa sudah hutang budi duluan. Maka mau tidak mau si pejabat harus membuat kebijakan terntentu yang harus menguntungkan para investornya. Lalu apa salah kita menerima uangnya semacam itu? Paling tidak ada lima kesalahan sekaligus yang telah kita lakukan saat menerima bagi-bagi uang dari kandidat. Pertama, kesalahan kita adalah memilih kandidat yang dari awal sudah terikat dengan para investornya. Biaya yang dibenamkan para investor sangat besar, dan kandidat tidak mungkin menutup mata kalau sudah jadi pejabat. Mau tidak mau dia pasti akan bikin kebijakan licik dan terselubung yang pasti harus menguntungkan investornya. Kedua, kalau pun kita hanya ambil uangnya dan tidak pilih orangnya, kita juga tetap salah. Sebab sejak awal kita sudah menipu sang kandidat. Pura-pura mau milih ternyata kita tidak memilih. Ini namanya menipu juga, dan menipu itu haram hukumnya, walau pun yang kita tipu itu sebenarnya maling atau penjahat. Maka makan uangnya penjahat dari hasil kejahatannya termasuk ikut makan uang haram juga. Ketiga, sumber dan asal-usul uang yang dibagi-bagi itu jelas sudah haram, karena bagian dari 'sogokan' prematur, demi membeli sang kandidat. Keempat, kalau kandidat itu kalah dan tidak jadi pejabat, maka dia akan mati berdiri, bahkan akan gantung diri. Sebab hutang-hutagnya berjibun, tidak bisa dibayarkan sampai tujuh turunan. Padahal kita tahu, sebagian dari uang itu sudah kita makan, padahal sumbernya dari hutang si kandidat gagal itu. Kelima, alih-alih kita mengingatkan si kandidat yang melenceng dari kebenaran, ternyata kita malah ikut menikmati uangnya. Dosa kita adalah dosa mendiamkan kebatilan sekaligus menikmati uang kebatilan itu. Alasan Harus Melihat Realita Demi Maslahat Yang Lebih Besar Sebagian orang ada yang menutup mata dan main tabrak saja urusan seperti ini. Alasannya, karena semua kecurangan ini dianggap sudah menjadi 'urf dan realita yang tidak bisa dipungkiri. Jadi yang tadinya haram hukumnya, bisa saja berubah jadi halal. Maka saya melihat ada pihak-pihak tertentu yang seolah-oleh di tangannya ada kunci surga, lalu bermain api untuk menghalalkan segala cara, demi menduduki jabatan yang berlimpah dengan harta. Seolah-olah yang haram itu jadi halal di bawah fatwanya. Kok bisa yang haram berubah jadi halal? Alasannya, karena ada tujuan yang lebih besar dan manfaat yang jauh lebih tinggi, sehingga tidak mengapa kita melakukan hal-hal kecil yang haram, yang penting tujuan besarnya tercapai. Astaghfirullahaladhzim. . . . Inilah yang dinamakan al-ghayatu tubarrirul wasilah, demi mencapai tujuan, maka segala cara jadi halal hukumnya meski pada dasarnya haram. Bayangkan, betapa sesatnya paham dan aliran seperti ini. Padahal maling sendal di masjid saja tahu hukum halal dan haram. Sehingga kalau ada maling sendal ketangkep dan diwawancarai apakah hasil curiannya itu halal atau haram, pasti maling itu bilang haram. Bandingkan dengan kesesatan yang banyak melanda kita tentang haramnya money politik. Kita sering bilang bahwa uang-uang money politik, mahar politik dan tetek bengeknya itu halal, alasanya karena demi mencapai tujuan yang lebih besar. Nasrani itu dijuluki sebagai orang yang tersesat (adh-dhaallin) karena mereka bodoh, lugu dan memang tidak tahu hukum halal-haram. Tetapi yahudi dijuluki sebagai kaum yang dimurkai (al-maghdhubi 'alaihim), bukan karena mereka tidak tahu, tetapi justru karena mereka sudah tahumana halal dan mana haram, tetapi mereka mengubah fatwanya, dari yang haram jadi halal. Maka dosa mengubah fatwa hukum yang haram menjadi halal itu sangat besar. TIdak ada apa-apanya dibandingkan dengan dosa orang yang pada dasarnya tidak tahu halal-haram. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun . . . Ada satu lagi santri yang nyeletuk,"Ustadz, ada yang berfatwa bahwa semua uang-uang itu halal katanya. Sebab bisa diqiyaskan harta rampasan perang, ghanimah atau fa'i gitu". Sempurna sudah kesesatannya!! Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, oleh : Ahmad Sarwat, Lc., MA

Rating: 4.5
Posting: Unknown
Judul: Hukum Menerima Uang Pilkada
Comments